ALFIYAH IBNU MALIK

Di suatu sudut serambi masjid, terlihat seorang santri beralaskan sorban hitam bergaris putih putih dengan kopiah putih menempel di kepalanya. Ia memegang kitab kecil seukuran buku saku yang kertasnya berwarna kuning. Kepalanya menghadap keatas dengan mata terpejam, sesekali ia turunkan pandangannya kearah kitab kecil di tangan kanannya.
Dahinya mengerut, menandakan keseriuasan mendalam. Seolah ada suatu memori yang coba ia putar didalam batok kepalanya. Mulutnya pun tak berhenti bergerak. Apa yang sebenarnya yang ia lakukan? Ia sedang menghafalkan bait demi bait dari kitab: “ALFIYAH” yang berjumlah 1002 bait.
Dalam literatur pesantren di Indonesia, sudah tak asing lagi bahkan hampir seluruh pesantren menyertakan alfiyah sebagai salah satu pelajaran wajib dan menjadi tolak ukur sejauh mana kepandaian seorang santri dalam ilmu gramatikal arab.
Karya monumental ini dikarang oleh maha guru Syeh Muhammad bin Abdullah nin Malik Al-Andalusy atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ibnu Malik. Alfiyah memang menarik. Bahkan telah masyhur dikalangan pesantren bahwa seorang santri belum dikatakan “santri” jika belum menguasai atau setidaknya mempelajari Alfiyah.
Sudah pasti kitab ini amat menarik. Pada awal Nadzom dalam bab Muqoddimah (pendahuluan,pen)beliau menggunakan “fi’il madhi” (kata kerja yang menunjukkan masa yang telah lampau,pen). Ini adalah hal yang tak lazim. Dimana para pengarang kitab diawal pembicaraannya mayoritas menggunakan “fi’il mudhori’” (kata kerja yang menunjukkan masa yang akan terjadi atau sedang dilakukan,pen).
Inilah satu keunikan dari banyak hal dari kitab ini. Sekali saat kita membuka halaman pertama , kita langsung disuguh dengan “hidangan” yang beda dari kitab lain. Yang mungkin membuat kita berfikir dan berangan-angan.
Dalam hal ini bisa terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, hal seperti ini dapat dijadikan tolak ukur dari betapa dalamnya keilmuan beliau. Diamana sebelum menulis kitab ini, 1000 nadzom yang menjadi isinya telah beliau simpan dalam memori otak beliau. Hal yang sangat langka dilakukan oleh pengarang lain.
Kemungkinan kedua bisa kita pakai pendekatan “Balaghoh”. Diamana salah satu dari “nuktah”(tujuan) pemakaian fi’il madhi adalah “LIDDAWAM”, yakni bahwa kata kerja dalam hal ini adalah lafadz “qoola”(berkata) diharapkan dapat lestari hingga akhirul-qiyamah.
Dalam kesempatan kali ini, saya mencoba untuk mengais mutiara yang terkandung dalam untaian permata NADZOM ALFIYAH yang saya dapatkan dari berbagai sumber dan guru-guru saya.
Mudah-mudahan hal yang saya ini termasuk dalam konsep akhlak terhadap seorang ‘alim yang berbunyi: “man yukrim mu’allimahu falyukrim ma ‘indahu”. Dan mudah-mudahan kita disandingkan dengan beliau kelak di akhirul-qiyamah. AMIEN…
kini saya coba membahas nuktah yang tersirat di salah satu nadzom alfiyah dalam hal ini yang terdapat dalam bab Kalam.
كلامنا لفظ مفيد كاستقم و إسم و فعل ثم حرف الكلم
Artinya: Kalam menurut ulama’ ahli nahwu adalah lafadz yang berfaidah sebagaimana lafadz istaqim…
Titik berat pembahasan kita kali ini terletak pada lafadz istaqim yang juga terdapat pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Fushshilat ayat 30:
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة أن لاتخافوا ولاتحزنوا وابشروا بالجنة التي كنتم توعدون
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah”. Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka. Maka lihatlah malaikat turun kepada mereka, dengan mengatakn, “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah merasa sedih. Bergembiralah kemu dengan mendapatkan surga yang telah Allah janjikan padamu”. (QS. Al-Fushshilat : 30)
Sebelum kita membahas ungkapan dari Alfiyah, alangkah baiknya kita dahulukan untuk membahas tafsiran ayat tersebut diatas.
Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawy dalam kitab Tafsir Munir menjelaskan bahwa pada saat seseorang berkata, “Allah adalah tuhanku”, maka harus diikutkan dengan keyakinan yang mendalam tentang adanya kekuasaan dan wujudnya Allah SWT. Serta mengetahui dan mengerti sifat-sifatNya secara menyeluruh. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan tidak ada cahaya iman di dalam hatinya. Setelah itu seseorang tersebut harus beristiqomah (استقاموا ). Hal ini dapat kita artikan dengan selalu melakuakan perbuatan baik yang diridloi oleh Allah SWT.
Setelah seseorang bersaksi dan meyakini bahwa Allah adalah tuhannya , kemudian disertai dengan istiqomah, selalu dan terus menerus menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya , sampai ajal kematian menjemput. Maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kesenangan surga yang akan dia dapatkan kelak.
Imam Ibnu Malik dengan kedalaman ilmunya telah menyinggung hal ini pada awal pembahasan ilmu nahwu pada kitab alfiyah-nya. Al-Kalam , yang dalam hal ini saya ungkapkan sebagai ucapan, adalah lafadz atau perkataan yang memberi faidah dan manfaat yang baik kepada orang lain ataupun pada si pembicara sendiri. Di sini dicontohkan dengan kata استقم , yang artinay adalah ” beristiqomahlah ” . Lafadz ini termasuk kalam (ucapan yang benar ) karena di dalamnya terdapat faidah yang dapat kembali pada orang yang diajak bicara , karena dengan mendengar lafadz tersebut hati kecil seseorang akan terdorong untuk menunaikan suatu perbuatn yang sangat besar menfaatnya. Ataupun paling tidak faedah tersebut akan kembali pada diri kita selaku orang yang berbicara , karena dengan berkata dan memerintah demikian berarti ia harus terlebih dahulu melakukan hal tersebut.
Jadi, hindarilah omong kosong ( perkataan yang tidak ada faedahnya ). hindari bersenda gurau. Karena omong kosong dan senda gurau hanya akn menghabiskan waktu kita untuk melakukan perbuatan yang lebih berguna dan berfaedah. Dan hal itu juga dapat dapat menimbulkan kegelisahan dalam hati. Seperti sabda Rasulullah SAW, ” Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir , hendaknya ia berkata baik. Atau ( jika ia tak dapat berkata baik ) maka lebih baik ia diam saja “.


المقدمة


MUQADDIMAH




قَـالَ مُحَمَّد هُوَ ابنُ مَـالِكِ ¤ أَحْمَدُ رَبِّي اللَّهَ خَيْرَ مَالِكِ


Muhammad Ibnu Malik berkata: Aku memuji kepada Allah Tuhanku sebaik-baiknya Dzat Yang Maha Memiliki.

مُصَلِّيَاً عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى ¤ وَآلِـــهِ الْمُسْــتَكْمِلِينَ الْشَّــرَفَا


Dengan bersholawat atas Nabi terpilih dan atas keluarganya yang mencapai derajat kemulyaan.

وَأَسْــتَعِيْنُ اللهَ فِي أَلْفِيَّـــهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ


Juga aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu.

تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ


Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat menjabar perihal detail dengan janji yang cepat.

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي


Kitab ini mudah menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyahnya Ibnu Mu’thi.

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ


Beliau lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau behak atas sanjunganku yang indah.

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ


Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.




Kitab Nahwu Sharaf Alfiyah Ibnu Malik, adalah sebuah Kitab Mandzumah atau Kitab Bait Nadzam yang berjumlah seribu Bait, berirama Bahar Rojaz, membahas tentang kaidah-kaidah Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf 
Pengarang Kitab Alfiyah ini, adalah seorang pakar Bahasa Arab, Imam yang Alim yang sangat luas ilmunya. Beliau mempunyai nama lengkap Abdullah Jamaluddin Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Malik at-Tha’iy al-Jayyaniy. Beliau dilahirkan di kota Jayyan Andalus (Sekarang: Spanyol) pada Tahun 600 H. Kemudian berpindah ke Damaskus dan meninggal di sana pada Tahun 672 H.

Karya emas beliau yang lain, yg cukup terkenal bernama Kitab Al-Kafiyah As-Syafiyah, terdiri dari tiga ribu Bait Nadzam yang juga bersyair Bahar Rojaz. Juga Kitab lainnya, karangan beliau yang terkenal bernama: Nadzam Lamiyah al-Af’al yang membahas Ilmu Sharaf, Tuhfatul Maudud yang membahas masalah Maqshur dan Mamdud. Semuanya membahas tentang  Tata Bahasa Arab baik Nahwu atau Sharaf.

Adapun Kitab Alfiyah ini adalah Kitab yang Ringkas berbentuk Nadzam, namun mencakup semua pembahasan masalah Ilmu Nahwu dengan detil. Sebagaimana beliau katakan pada Bait Muqaddimah pada Kitab Alfiyah ini:

“Juga aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu”.

Metode Kitab Alfiyah ini sebenarnya cukup memberikan kemudahan bagi pelajar untuk menguasainya. Tidak hanya untuk para senior. Karena Alfiyah ini cukup mengandung pengertian yang sangat luas, tapi dengan lafad yang ringkas. Sebagaimana beliau memberi penilaian terhadap Kitab Alfiyah ini, dalam Muqaddimahnya yang berbunyi:

“Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat menjabar perihal detail dengan janji yang cepat”

Kitab Alfiyah ini, disebut juga Kitab Khalashah yang berarti Ringkasan. Diringkas dari Kitab karangan beliau yang benama Al-Kafiyah As-Syafiyah, merupakan Kitab yang membahas panjang lebar tentang Ilmu Nahwu. Sebagaimana beliau berkata pada Bait terahir dari Kitab ini, yaitu pada Bait ke 1000:

“Telah terbilang cukup kitab Khalashah ini sebagai ringkasan dari Al-Kafiyah, sebagai kitab yang kaya tanpa kekurangan”.

Beliau juga memberi motivasi, bahwa Kitab ini dapat memenuhi apa yang dicari oleh para pelajar untuk memahami Ilmu Nahwu. Beliau berkata pada Bait ke 999

“Aku rasa sudah cukup dalam merangkai kitab Nadzom ini, sebagai Kitab yang luas pengertiannya dan mencakup semuanya”.

Begitulah memang, Kitab Alfiyah Ibnu Malik ini cukup sukses, mendapat kedudukan tinggi dan penilaian terhormat di hati para pencari ilmu gramatika Bahasa Arab. Dimanapun para pencinta Ilmu Nahwu pasti mengenalnya. Tersebar luas dan diajarkan di berbagai Lembaga-Lembaga Pendidikan. Tidaklah sedikit Kitab-Kitab Syarah yang menyarahi dari Nadzam Alfiyah Ibnu Malik ini, dan tidak sedikit pula Kitab Hawasyi yang menyarahi dari Syarahnya Kitab ini. Semoga beliau mendapat kedudukan yang tinggi disisi-Nya. Amin.

الْكَلاَمُ وَمَا يَتَألَّفُ مِنْهُ

Bab Kalam dan Sesuatu yang Kalam tersusun darinya

كَلاَمُــنَا لَفْــظٌ مُفِيْدٌ كَاسْــتَقِمْ ¤ وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ

Kalam (menurut) kami (Ulama Nahwu) adalah lafadz yang memberi pengertian. Seperti lafadz “Istaqim!”. Isim, Fi’il dan Huruf adalah (tiga personil) dinamakan Kalim

وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَالْقَوْلُ عَمْ ¤ وَكَلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤمْ

Tiap satu dari (personil Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalam

KALAM

Definisi Kalam menurut Istilah Ulama Nahwu adalah Sebutan untuk Lafadz yang memberi pengertian satu faedah yaitu baiknya diam. Sehingga yang berkata dan yang mendengar mengerti tanpa timbul keiskalan.
  • Lafadz adalah nama jenis yang mencakup Kalam, Kalim, atau Kalimat, termasuk yang Muhmal (tidak biasa dipakai) ataupun yang Musta’mal (biasa dipakai) contoh perkataan Muhmal: دَيْزٌ Daizun, tidak mempunyai arti. Contoh perkataan Musta’mal عَمْرٌو ‘Amrun, ‘Amr nama orang.
  • Mufid (yang memberi pengertian) untuk mengeluarkan Lafdz yang Muhmal, atau hanya satu Kalimat, atau Kalim yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih tapi tidak memberi pengertian faedah baiknya diam, seperti Lafadz: اِنْ قَامَ زَيْدٌ Apabila Zaid berdiri.
Susunan Kalam pada dasarnya Cuma ada dua: 1. ISIM + ISIM, 2. FI’IL + ISIM. Contoh pertama: زيد قائم Zaid orang yg berdiri. Contoh kedua قام زيد Zaid telah berdiri. Sebagaimana contoh Kalam yang disebutkan oleh Mushannif pada baris baitnya, yaitu lafadz استقم ISTAQIM! Artinya: berdirilah! Pada lafadz ini terdiri dari Fiil ‘Amar dan Isim Fa’il berupa Dhomir Mustatir (kata ganti yang disimpan) FI’IL + ISIM takdirnya adalah استقم أنت ISTAQIM ANTA, artinya: berdirilah kamu! maka contoh ini memenuhi criteria untuk disebut Kalam yaitu lafadz yang memberi pengertian suatu faidah. Sepertinya Mushannif mendefinisikan kalam pada bait syairnya sebagai berikut: Kalam adalah Lafadz yang memberi pengertian suatu faidah seperti faidahnya lafadz استقم.

Bab Kalam Ibnu Aqil

KALIM

Adalah nama jenis yang setiap satu bagiannya disebut kalimat, yaitu: Isim, Fi’il dan Huruf. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri tanpa terikat waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT ISIM. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri dengan menyertai waktu, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT FIIL. Jika Kalimat itu tidak menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri, melainkan kepada yang lainnya, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT HURUF. Walhasil Kalim dalam Ilmu Nahwu adalah susunan dari tiga kalimat tsb atau lebih, baik berfaidah ataupun tidak misal: إن قام زيد jika Zaid telah berdiri.

KALIMAT

Adalah lafadz yang mempunyai satu makna tunggal yang biasa dipakai. Keluar dari definisi Kalimat adalah lafadz yang tidak biasa dipakai semisal دَيْزٌ Daizun. Juga keluar dari definisi Kalimat yaitu lafadz yang biasa dipakai tapi tidak menunjukkan satu makna, semisal Kalam.

QAUL

Adalah mengumumi semua, maksudnya termasuk Qaul adalah Kalam, Kalim juga Kalimat. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa asal mula pemakaian Qaul untuk Lafadz yang mufrad (tunggal).
Selanjutnya Mushannif menerangkan bahwa menyebut Kalimat terkadang yang dimaksudkan adalah kalam. Seperti lafadz لا إله إلا الله Orang Arab menyebut Kalimat Ikhlash atau Kalimat Tahlil.
Sebutan Kalam dan Kalim, terkadang keduanya singkron saling mencocoki satu sama lain, dan terkadang tidak. Contoh yang mencocoki keduanya: قد قام زيد Zaid benar-benar telah berdiri. contoh tersebut dinamakan Kalam karena memberi pengertian, mempunyai faidah baiknya diam. Dan juga dinamakan Kalim karena tersusun dari ketiga personil Kalimat. Contoh hanya disebut Kalim: إن قام زيد Apabila Zaid berdiri. Dan contoh hanya disebut Kalam: زيد قائم Zaid orang yang berdiri.